#MIWF2016 Adalah Sebuah Pengalaman

Bersama kak dhila dan kak dhani

Selama dua puluh satu tahun, aku belum pernah pergi ke luar Jawa untuk bermain. Rasanya selatan Bandar Lampung tidak bisa kukatakan sebagai "tempat bermain" lantaran aku punya keluarga di sana.

Kali ini adalah cerita berbeda yang datang dari ibu kota di Sulawesi Selatan, Makassar. Percaya atau tidak, aku banyak mengalami hal yang sifatnya "pertama kali" dalam pengalaman itu. Makassar International Writers Festival membawaku pada suatu fase pembelajaran dan menjalin relasi yang benar-benar jauh dari tempatku menulis saat ini.

Malam 15 April 2016, aku memutuskan untuk mengisi form pendaftaran sebagai volunteer di acara tersebut. Tanpa keragu-raguan dan tidak berpikir kalau aku akan lolos. Aku mengirimkannya dengan selembar CV melalui email dan membiarkannya begitu saja sampai tibanya pengumuman nanti.

Ada penantian yang hadir menjelang hari pengumuman yang ternyata ditunda beberapa hari. Siang itu, aku lupa tanggal berapa, ada seseorang yang meneleponku. Perempuan. Mengaku bernama Fiska. Ia bertanya, "Kalau kamu dinyatakan lolos jadi volunteer, kamu bisa hadir berapa hari di event? Soalnya saya lihat kamu cuma mengisi satu hari di form." Sebuah pernyataan terselubung bahwa aku pasti masuk kriteria yang akan diloloskan menjadi volunteer.

Kujawab, "Kalau diterima, saya usahakan bisa hadir selama acara berlangsung." Sebuah jawaban meyakinkan yang aku lontarkan. Tiba-tiba muncul sebuah keraguan yang dahsyat mengenai bagaimana caraku bisa sampai di Makassar bulan depan? Itu urusan belakangan, yang penting jawab iya saja dulu.

Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah memberitahu orangtuaku perihal ini. Papa menjawab, "Nanti dipikirkan dulu", sedangkan mama hanya menyerahkan keputusan pada papa. Aku sempat merasa malu ketika membicarakan ini dengan orangtua. Dengan diterimanya aku sebagai volunteer, otomatis aku harus pergi ke Makassar, dengan cara apapun. Cara-cara berikut yang terpikirkan olehku:

Opsi 1
Berangkat dengan pesawat. Pulang dengan kapal laut.

Opsi 2
Berangkat dan pulang dengan kapal laut, demi menekan biaya transportasi pesawat yang cukup mahal bagiku.

Opsi 1 cukup imbang, tapi nyatanya papa menjawab dengan sederhana, "Kalau cuma beda harga sedikit dan beda waktunya banyak, mending naik pesawat. Duit mah gampang." Tuhan, mengapa orangtua selalu baik kepada anaknya, sedangkan anaknya selalu tak tahu diri meminta uang terus-menerus? Aku semakin gamang. Apakah aku harus membatalkan kesediaanku untuk berangkat? Kemudian jawaban itu hadir berupa tambahan uang di ATMku yang kata papa, "Buat beli tiket pesawat, Mbak. Sama uang jajan tambahan." Lega dan haru bersenyawa jadi senyum bahagia.

"Kesempatan nggak datang dua kali. Belum tentu tahun depan bisa," ujar Papa. Ya, semoga tahun depan aku sudah lulus dan bekerja. Aamiin.
---



Seperti yang kubilang, Makassar International Writers Festival membawaku pada pengalaman baru yang sebelumnya asing bagiku. Menginjakkan kaki di Makassar pertama kali dan seorang diri, aku harus mampu menjaga diriku sendiri, berdialog dengan orang-orang yang logatnya berbeda dengan asalku. Setiap kali berbicara dengan orang, terutama supir mobil yang akan mengantarku, aku selalu berbisik pada diriku sendiri, "Jangan takut, ini masih Indonesia kok."

Benteng Fort Rotterdam yang berdekatan dengan Pantai Losari menjadi tempatku 'bekerja' menjadi relawan di acara MIWF. Aku sempat merasa kaget dengan logat orang Makassar yang terlihat keras dan seperti orang marah, padahal mereka ngomong biasa kayak aku. Aku malah jadi aneh sendiri karena bahasaku yang halus dan sangat berbeda dengan mereka.

Di MIWF aku tidak cuma bertemu banyak orang baru, melainkan belajar melihat bagaimana kerja volunteer di event tahunan sebesar ini. Kebetulan, MIWF 2016 adalah event keenam yang digelar oleh Rumata Art Space. Jujur, saat berada di sana, aku seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Bahkan aku tidak tahu Rumata itu apa, MIWF pun aku hanya tahu sekilas saja, tetapi aku nekat mendaftar dan terbang ke tanah Bugis ini.

Ini festival sastra terjauh yang aku datangi, meskipun aku sendiri malah belum pernah datang ke acara festival sastra lainnya. Menilik namanya yang merupakan festival sastra, aku sendiri masih awam dalam dunia persastraan, meskipun mamaku bilang kalau aku doyan nulis dan tidak masalah untuk datang ke acara penulis-penulis begitu. Sungguh, di MIWF aku benar-benar buta soal sastra. Penulis-penulis yang aku tahu hanya Dee Lestari, Agustinus Wibowo, Eka Kurniawan dan Aan Mansyur karena buku puisinya booming di film AADC2. Apalagi selain itu? Tidak ada yang kuketahui.

Kalau kamu mau tahu, MIWF yang berjalan selama 4 hari ini merupakan acara yang kompleks. Dalam satu hari, bisa ada beberapa acara yang berlangsung dalam waktu bersamaan dan tempat yang berbeda. Itu sebabnya semua volunteer harus bekerjasama dan saling koordinasi agar acara berjalan sesuai keinginan. Ternyata tidak mudah menjalankan acara sebesar ini. Kalau aku sih cuma duduk-duduk santai di booth informasi, sambil sesekali membantu teman lain yang butuh bantuan, atau kalau lagi gabut yang duduk manis di salah satu acara.

Jadi kamu gabut doang di sana, Wi? Tentu enggak. Kerjaku itu web content officer bersama Kak Mirwan. Tugasku yang cukup sederhana memang, hanya memposting release dari tim media dari berbagai acara yang sudah berjalan.

Secara tidak langsung, MIWF mengajarkan aku banyak hal. Pertemanan dan kerjasama, terutama. Aku sadar, sebagian dari mereka lebih tua dariku dan sudah banyak punya pengalaman. Semua rasa lega dan haru lagi-lagi terajut jadi satu saat malam terakhir penutupan MIWF 2016. Menyenangkan bisa menjadi bagian dari mereka, para volunteer yang pekerja keras. Bahwa acara 4 hari itu terasa sebentar dengan sebuah kesuksesan yang ada di tangan kita semua.

Sebuah perjalanan akan memberikan pengalaman yang berbeda pada setiap kunjungannya.

Seluruh volunteer dan founder MIWF.


Special thanks for:
Kak Dhila dan Kak Nina yang sudah rela menjadi tempatku menginap dan Kak Fira yang mau repot antar-antar kami kemana-mana.
Kak Dhani, Kak Intan, yang menemani aku selama di acara kalau aku sendirian.
Kak Mirwan, Kak Nenden, Kak Pen, Kak Weny, Kak Ramdha, Kak Imhe, Kak Amy, Kak Aksan, selaku tim media yang sering duduk bareng di booth information.
Kak Fiska, Kak Kiki Kak Angga, Kak Ryan, yang dengan sangat baik menyambutku juga.
Kak Utta, Kak Yunike, Kak Arga, Kak Fathul, tim bussiness unit yang sudah membiarkanku ngacak-ngacak buku dagangan. Hahaha.
Kak Itha, yang selalu siaga dan bertanya, "Kau sudah makan?" kepada semua volunteer.
Ibe, yang mau repot-repot nganterin aku dari rumata ke rotterdam.
Lindsay, Kakaseven, Kak Mala, dan Kak Aswar yang rela pula pergi sana-sini demi kita semua.
And then, untuk Kak Lily, founder MIWF, juga Kak Ita, yang membuat kita tertawa di dini hari setelah acara selesai.
Dan untuk semua volunteer MIWF 2016!

Semoga tahun depan aku bisa ke sana lagi. Aamiin.


Purwokerto yang dingin, 18 Juni 2016.

Tepat sebulan yang lalu acara kita dimulai.

Post a Comment

5 Comments

  1. Trims sharingnya Mbak. Iya...saya jg suka nulis2. Tapi buta ttg sastra. Btw...Makassar kota kelahiran saya tuh. Numpang lahir doang...hehe...

    ReplyDelete
  2. Trims sharingnya Mbak. Iya...saya jg suka nulis2. Tapi buta ttg sastra. Btw...Makassar kota kelahiran saya tuh. Numpang lahir doang...hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe sama kok kak. Wah, lahir di Makassar ya? Keren-keren.

      Delete
  3. Wah keren banget kamu Af. Semoga pengalaman berhargamu menjadi bekal untuk suksesmu di masa depan ya.

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?