Mengenang Malam Minggu


Ada setitik rindu di mataku yang melesat ke matamu. Berkali-kali pagi dan malam berlalu tanpa ada kata-kata. Malam yang membisikkan kenang, berbalik memilih jalannya sendiri. Selalu, bercanda dengan waktu yang usang.

Jaketmu yang tertiup angin tak bisa kurengkuh, ia terlalu kuat memeluk angin, lari dari cengkeramanku yang malu-malu. Tidak ada kata-kata. Ya, tidak ada di awal perjalanan kita. Selain angin dan puing memori yang terbang berserakan di sekeliling.

Cahaya bulan terlihat mengantuk, redup, dibuai pikiranmu yang gugup. Atau itu aku yang terlalu takut memulainya lagi? Atau kamu yang terlalu jauh untuk kembali? Biar, biar cahaya bulan menyimpannya dalam sepi.

Kemanakah kita melaju malam ini? Diantara kebut dan dingin yang menembus batas sunyi milik kita sendiri. Kita ada, hanya tak saling percaya kalau sunyi itu harus dibongkar.

Di persimpangan tempat kita berhenti, tak ada ruang yang bergerak untuk menyendiri. Mereka ramai, hingar, saling berbaris mengisi hati. Pikiranku berlarian, memasuki pikiranmu, menyenandungkan nada-nada sumbang yang lirih. Kau dengar? Kenangan di pikiranmu lebih kuat daripada aku.

Siapa aku?
Pertanyaan bodoh yang terulang setiap kali berada di belakangmu, di sampingmu, di depanmu, dan di setiap pertemuan yang menggerakkan remot masa lalu.

Siapa kau?
Seseorang yang menggema lagi di permukaan. Tak peduli apakah bulan purnama sudah lewat atau malah hilang tiba-tiba.

Pada sudut terakhir di spidometermu, itu rumahku. Tepat di garis dua angka satu yang berjajar rapi di depan gerbang. Tidak ada yang menyela lagi, tidak ada. Hanya pintu yang berbeda yang akan kita pilih dengan beda pula. Sepertinya.

Purwokerto yang ramai di luar, tapi hening di kamar.
25 Juni 2016, 23:27.

Post a Comment

0 Comments