Diary Gadis Patah Hati



Minggu malam yang sepi. Pikiran saya jadi tertambat pada masa yang telah terjatuh jauh di belakang. Saya ingin bercerita, maka sudikah kau, kalian, dan siapapun yang membaca judul postingan ini untuk tenggelam dalam kalimat yang saya buat sampai akhir? Mari saya bawa kalian ke sebuah waktu di masa lampau, sekitar sepuluh tahun silam.

2006
Saya masih anak-anak. Masih suka bermain lompat tali, masak-masakan, bahkan masih merayakan ulang tahun dengan meriah. Tahun itu adalah masa peralihan, saya menyebutnya masa ABG (anak baru gede).

Memasuki usia remaja awal, saya merasa wajar kalau bicara soal cinta monyet. Bahkan, teman saya sewaktu SD sudah berpacaran. Intinya, saya tidak dewasa secepat itu kok. Namun, saya mengutuki ke-soktahu-an saya perihal pacaran itu.

Saya sudah dua-puluh-satu dan saya belum pernah pacaran. Ini sebuah pengakuan? Anggap saja iya. Lalu, apa hubungannya dengan judul di atas? Tentu ada. Jika sebuah hubungan pacaran akan menimbulkan patah hati setelah hubungan itu putus, maka tidak dengan saya.

Aku serupa lidi yang hanya sendirian. Rapuh dan mudah patah. Atau seperti helai rambut yang kurang vitamin. Rapuh pokoknya mah!

Sekali lagi saya bilang, saya belum pernah pacaran, tetapi tentu saja saya pernah patah hati. Berkali-kali malah. Jangan ditanya kenapa dulu, saya nggak akan cerita semua. Saya cuma akan cerita satu saja, the most and the only one yang sampai saat ini masih membuat saya geregetan dan patah berkali-kali.

Kalau kamu bilang anak SD cuma punya cinta monyet, kamu salah. Kamu harus denger cerita ini dulu.

Alkisah, pada sebuah desa di pinggiran Kabupaten Bogor, tersebutlah dua orang remaja yang hidup berdekatan, sebut saja Tiwi dan Mas A. Kedua remaja itu saling kenal dengan sendirinya melalui sebuah pengajian. Tiwi anak yang rajin, pintar, dan solehah. Hapalannya bagus dan sering sekali dipuji oleh guru ngajinya.

Bertemu Mas A bukan sebuah kebetulan. Kalau kalian tidak percaya, ini mungkin takdir dari Tuhan supaya Tiwi mengenal laki-laki. Seperti layaknya remaja pada umumnya, Tiwi menyukai Mas A dengan begitu cepatnya. Di matanya, Mas A ini sosok yang keren, perawakannya tinggi, kulitnya putih, dan wajahnya cukup tampan. Tiwi jatuh cinta, entah cinta monyet atau cinta model apa. Pokoknya dia suka!

Hari-hari pertemuan di tempat pengajian serasa membahagiakan. Ia selalu ingin mengaji setiap hari, padahal hari Minggu pengajian libur. Hanya saja, menyukai orang tampan itu susah. Tiwi nggak tahu apakah Mas A juga suka kepadanya atau tidak. Sebagai cewek abg pada zaman itu, tentunya curhat tentang cowok sudah nggak mengherankan lagi. Dan berceritalah Tiwi pada seorang teman perempuan di tempat ngajinya.

Dengan hati yang masih penasaran, Tiwi terus menduga-duga, sedikit dibumbui dengan cari perhatian, membuat dirinya jadi titik fokus. Bagaimana caranya? Ya, menghapal banyak doa-doa yang diajarkan di tempat ngaji dong! Sampai suatu hari, sang guru ngaji meledeknya dengan si Mas A. "Ya, nggak apa-apa kalau Tiwi suka sama Mas A. Siapa tahu jodoh." Serasa ada kembang api yang meledak di hatinya; campuran antara kaget dan senang mendapat dukungan.

Hari-hari berlalu, semua orang di pengajian sudah tahu kalau Tiwi menyukai Mas A. Saat itu, ia tetap bungkam, meskipun bibirnya selalu tersenyum ketika nama Mas A disebut oleh siapapun.

Dan... lidi pertama pun patah...

Hari di mana rasanya semua menyebalkan dan menyakitkan. Waktu dimana kepercayaan terkhianati dengan sengaja. Ingat dengan teman curhat Tiwi yang tadi? Iya, dialah penyebab hati Tiwi retak dan patah di kemudian hari. Kalian mungkin bisa menebaknya. Mas A berpacaran dengan teman curhatnya Tiwi.
---

Bagaimana? Kalian bisa merasakan patahannya bukan? Bagaimana bisa orang yang saya anggap teman, kemudian malah menusuk dari belakang. Hahaha. Mungkin saya yang bodoh karena tidak mampu melihat pancaran mata yang sama, seperti milik saya kepada Mas A. Atau memang dia yang sudah ingin menghancurkan saya sejak awal? Tidak tahu.

Dengan Mas A, saya berkali-kali mengalami patah hati. Dia sempat datang kepada saya ketika saya sedang asik-asiknya menyukai orang lain. Mungkin tidak seperti Rangga dan Cinta, dia datang setelah lima tahun kemudian dengan sebuah catatan tentang kenyataan: dia mengalami kebingungan untuk memilih saya atau teman saya pada saat itu. Klise. Entah itu dusta atau bukan.


Aku sedang duduk, bicara hal-hal yang menyenangkan dengan orang lain ketika kau bilang akan menungguku di sana. Hal yang terjadi ketika aku memutuskan untuk pulang, kamu sudah tidak ada di sana. Yang tersisa padaku cuma serpihan, sisanya terlanjur kau bawa pergi.

Saya mengalaminya lagi, rasa yang sama seperti lima tahun silam. Hanya saja, saya tidak merasa seterpuruk itu. Seperti yang saya bilang, ketika dia datang, saya sedang sibuk dengan orang lain. Tetapi tetap saja merasa dibohongi, diberi harapan kosong, dikhianati. Beberapa waktu kemudian, dia berpacaran dengan orang lain. Hahaha. Rasanya saya ingin tertawa sekeras-kerasnya melihat diri saya yang begitu bodoh dan melihat kepalsuan itu seperti sebuah ketulusan abadi.

Perlahan-lahan saya mulai lupa kepadanya, meskipun tidak sepenuhnya berhasil. Kepulangan saya ke rumah selalu membuka kenangan itu sedikit lebih lebar dibandingkan saat di kota rantau. Berselang tiga tahun, dia datang lagi. Saya sudah menyiapkan sebuah benteng pertahanan agar saya tidak mengalami patah hati yang ketiga kalinya.


Kau menyebutku adik, sedangkan engkau tahu seperti apa laju rasaku saat itu.

Dia berubah, lebih hati-hati, dibanding Mas A yang aku kenal sewaktu berusia 12 tahun. Dia sudah lebih dewasa meskipun usia kami hanya terpaut satu tahun, dia lebih tua daripada saya. Dia singgah di sisi saya dengan label 'kakak' yang sebelumnya tidak saya duga. Kenyataannya hari itu, walaupun saya membuat benteng pertahanan, saya tetap kalah. Dia masih bisa dengan mudahnya menyusup ke hati saya. Sebuah kebodohan yang saya lakukan karena membiarkannya masuk (lagi).

Kenyataannya saat itu dia sudah tidak sendiri, dia sudah memiliki kekasih lain yang saya tidak kenal. Sesungguhnya saya ingin berteriak, "Masa bodoh kamu mau punya pacar atau tidak! Saya tetap suka kamu. Meskipun kamu jahat telah membuat saya berkali-kali patah hati.", tapi saya tidak melakukannya. Saya hanya diam dan pelan-pelan mengutuk dan merapal doa macam-macam, dari mulai doa yang baik, hingga doa orang yang teraniaya (hatinya).



Sampai catatan ini saya ketik, saya hampir menghubunginya lagi untuk mengeluarkan semua hal yang saya rasa belum selesai. Namun, saya urungkan karena saya terlalu baik untuk membuat orang lain menyesal dan tidak bahagia dengan hidupnya.
---


Tulisan ini diikutsertakan Giveaway -Pameran Patah Hati-


Purwokerto, 9 Mei 2016. 00:30.

Post a Comment

0 Comments