Jam Satu Dini Hari

Untuk seseorang yang sedang berjuang di jalanan ibu kota.

Hai, Kak. Sudah lama rasanya tak menulis surat semacam ini untuk kamu. Setelah hampir berbulan-bulan berpisah jarak, aku sudah terbiasa. Apa kabarmu di ibu kota? Masih samakah seperti itu? Atau semakin kurus? Kuharap kau baik-baik selalu.

Masih ingat suratku beberapa bulan lalu yang datang ke kantormu? Aku sungguh nekat mengirimkan benda itu ke sana. Berbekal alamat dari website kantormu, aku menetapkan hati untuk tetap mengirimnya. Bukan tanpa alasan, hanya saja aku percaya bahwa itu akan jadi kado terakhirku untukmu. Iya, terakhir dan aku merasa sudah cukup.

Aku sudah cukup paham dengan situasi kita sekarang, Kak. Tidak ada penjelasan soal hubungan kita yang seperti ini, kan? Kamu menganggapku adik dan semuanya selesai. Meskipun aku sempat menaruh hati pada sosokmu yang sederhana. Kamu memang terlampau sederhana, Kak. Caramu bicara, caramu menyusun kata dalam semua portal berita. Kamu biasa, tapi kamu berbeda.

Surat ini akan menyampaikan rindu yang biasanya. Kepulanganku ke Bogor tentunya membuat jarak kita semakin dekat, tapi tidak dengan pertemuan. Aku ingin bertemu, tapi enggan bertatap. Bagaimana dengan itu? Bisakah kita bertemu tanpa sengaja atau mungkin hanya aku yang melihatmu atau sebaliknya? Bisakah, Kak? Ya, semua terserah Tuhan.

Aku selalu hati-hati ketika bicara dengan kamu, Kak. Ingat saat jam satu dini hari tanggal 24 Juni dua tahun silam? Mungkin kamu lupa, tapi itu hal sederhana yang kamu lakukan untukku: mengantarku pulang. Hahaha. Sederhana kan? Padahal kamu tahu jarak kost-ku dengan kampus hanya selemparan batu. Padahal malam itu juga aku sudah menolak untuk diantar, tapi kamu tetap mengantarku bukan? Ah, kamu.

Kamu yang tak banyak bicara membuatku harus keluar dari zona nyaman dan mengajakmu bicara. Sebenarnya ini cuma caraku untuk bisa terus berbicara denganmu tanpa ada jeda yang membosankan. See? Aku selalu berusaha bicara, Kak.

Selama ini, selepas perginya kamu, aku seperti mengikuti jejak sepatumu. Aku mengikuti arahmu, kemana pun kamu pergi. Aku seperti penguntit ya? Aku jahat dong? Ah, entahlah apa aku ini bisa dibilang penjahat atau tidak. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sebaiknya aku pergi saja ya, Kak?

Kak, ingat percakapan sebelum kamu mengantarku pulang? Permainan kita bersama yang lain terasa menjebakku bahwa katanya aku tidak ingin menjadi kekasihmu, tapi aku ingin menjadi istrimu. Hahaha. Sungguh mereka salah paham atas ucapanku, meskipun aku mengamini di dalam hati. Siapa tahu Allah berbaik hati padaku kan, Kak?

Selagi kamu berjuang di ibu kota, aku juga tengah berjuang di jalanku sendiri. Semoga kamu tetap seperti biasanya, sesederhana kamu yang selama ini aku kenal. Selamat berjuang, Kak. Semoga kamu selalu bahagia.

Sincerely,


Afrianti Eka Pratiwi.

Cileungsi, 31 Januari 2016. 15:44.


Post a Comment

0 Comments