Sebuah Kekecewaan dan Lampu Kuning
December 08, 2015
Gaes, apakah hidup itu
tidak luput dari rasa kecewa?
Ya namanya
juga hidup, kan nggak selalu mulus.
Rasanya baru kemarin
lho aku mencoba menjadi si professional. Dengan segala keterbatasan waktu, aku
mencoba membaginya. Mencoba memaksimalkan semua kegiatan dalam 24 jam. Hasilnya
memang tidak sia-sia, tergantung bagaimana aku mengaturnya. Sisanya ya kemarin
malam itu. Aku kecewa.
Hari kemarin hari apa
sih? Rasanya kok aneh banget. Tiba-tiba saja aku mendapat kabar yang sangat
mengagetkan di sebuah grup LINE.
Aku
mau rombak tim ini karena progress kita lambat. Ada kesalahan mendasar yang
hidup di tubuh tim ini. Dan lagi-lagi ini soal monetisasi kita. – Seseorang.
Iya, kita sedang
mencoba startup di bidang media. Awal terbentuknya aku memang diajak oleh
seseorang yang menobatkan dirinya sebagai CEO, karena memang dia yang memiliki
ide membuat website media ini. And I say
yes for joined in this team. Langkah pertamaku masih ragu-ragu, apakah aku
siap bekerja secara professional dengan membangun media ini bersama-sama?
Sebulan kemudian, aku kembali ke kebiasaanku yang buruk: suka menunda-nunda.
Beberapa waktu kemudian, aku kembali.
Bertemu orang baru
memang terasa asing. Sungguh. Tidak ada yang aku kenal selain teman yang
mengajakku ikut bergabung itu. Beberapa minggu sebelum hari ini, aku mencoba
chat personal pada masing-masing anggota grup. Aku mencoba akrab, atau
istilahnya, pedekate. Hahaha. Ya, selain karena aku mau kenal, aku juga nggak
bisa hidup dalam keterasingan di grup itu.
Time
flies and no progress anymore.
Apa hubungannya sama
lampu kuning? Keragu-raguanku, gaes. Aku ragu dan aku selesai. Mereka pun
selesai. Saat ini masih lampu kuning. Akhir tahun jadi lampu merah. Kita
selesai.
Semua keterburu-buruan,
semua ketergesaan, semua rasa lelah dan ketidakpuasan, semua keinginan untuk
jadi perfeksionis, dan semua perdebatan yang tak menghasilkan apa-apa. Pada
akhirnya, aku merasa pendapat kami tidak didengar. Hanya seperti sekumpulan
kata yang sia-sia. Sampai detik ini aku membenci kalimat ini, “Kalau kamu
merasa berpotensi, kenapa kamu nggak coba join lagi?”
Seperti omong kosong.
Tidak dipungkiri bahwa kejadian yang sama akan berulang ketika kita tidak
berani mendengar pendapat. Silakan saja mendebat sampai berbusa-busa, tapi
keputusan tetap pada tangan yang sama; tangan si “pemilik”.
Dengan rasa kecewa yang
amat sangat.
Afrianti Eka Pratiwi
Purwokerto, 8 Desember
2015. 18:33.
0 comments