Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana sejuknya kota kita 20 tahun lalu. Saat kaki-kaki kecil kita berlarian tanpa alas. Saat rerumputan masih mampu menyembunyikan tubuh mungil kita. Tidak ada yang luput mengatakan bahwa kota kita adalah bagian dari surga yang ada di bumi. Setidaknya, ibuku bilang begitu.
Entah bagaimana rupa kota kita saat ini, juga rupamu yang sudah hampir 15 tahun tak kutemui lagi. Aku tetap tinggal di kota itu selama 3 tahun sebelum kau pergi. Kemudian aku menyusul ke kotamu yang baru, tapi tak kutemukan sosokmu.
Hello, my good reader. ( はじめまして、 わたしは ティヰ です。)
Kali ini seperti biasa saya akan melanjutkan kisah tentang mata kuliah yang sedang saya jalani, yaitu Teknologi Komunikasi. Kini saya sudah berada di pengunjung semester. Oleh karena itu saya akan menecritakan sedikit tentang pengalaman saya belajar Teknologi Komunikasi.
Aku jatuh cinta pada tatap mata tajam miliknya. Milik keajaiban yang masih berlangsung hingga detik ini. Detik kesejuta yang tak mampu lagi aku hitung. Mata itu menatap tepat di mataku, seolah-olah ingin menerkam. Menelanjangiku, mencari kepingan yang tidak ia ketahui. Aku menghela nafas. Ini saatnya berdamai, meski semua tak sama lagi.
REVIEW
[BOOK REVIEW] The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Dissapeared by Jonas Jonasson
Judul: The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Dissapeared
Pengarang: Jonas Jonasson
Penerjemah: Marcalais Fransisca
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN: 978-602-291-018-3
Tahun Terbit: 2013
Tebal Buku: viii + 508 hlm.
Pembaca, tulisan ini kuawali dengan sebuah kalimat:
Bukankah sebuah pertemuan itu adalah takdir?
Tiada yang lebih indah ketika kamu bangun tidur dan di hadapanmu ada pemandangan alam yang indah.
Tiada yang lebih mengagumkan ketika kamu tidur ditemani suara ombak yang nyaman di telinga.
Tiada yang lebih sempurna bahwa kamu bisa hidup dan melihat alam yang menakjubkan.
Yang kurang hanya satu... KAMU.