A Special Message (Part 1)

This is spesial for you, my readers...

A Special Message
Oleh Afrianti Eka Pratiwi

Aku baru saja tiba di rumah beberapa menit yang lalu setelah mengantarkan Rita, kekasihku, pulang. Rasanya lelah sekali setelah seharian berjalan-jalan dengannya. Mataku sudah mengantuk sejak dalam perjalanan pulang dari rumah Rita tadi sehingga aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur tanpa mencuci muka terlebih dahulu.

Hari ini memang hari spesial. Sudah setahun kami berpacaran. Itu sebabnya aku mengajak Rita untuk jalan-jalan dan makan malam di sebuah restoran yang mempunyai dekorasi unik untuk candle light dinner. Aku memilih makan malam untuk merayakan hari jadian kami karena aku tahu Rita menyukai hal-hal romantis semacam ini. Terbukti, selama makan malam berlangsung, ia tak berhenti tersenyum dan mengatakan kalau ia mencintaiku. Pun denganku. Aku mencintainya, sekarang.

Malam ini menjadi malam bersejarah untuk kami berdua. Di tengah temaran lilin yang menyala wajahnya tetap bersinar. Beruntunglah pengunjung restoran ini tidak terlalu ramai seperti biasanya sehingga kami bisa menikmati waktu-waktu berdua.

"Aku senang bisa berada di sini denganmu," ujar Rita. Wajahnya berseri-seri, senang. Aku tersenyum mendengarnya.

Ia bercerita, membuatku berkhayal tentang masa depan. Tentang suara tangisan tentang bayi-bayi mungil di rumah masa depan kami. Cottage. Ia ingin punya cottage di tepi pantai, katanya.

"Kamu mau punya anak berapa, Sayang?" Tanyanya seraya menggenggam tanganku.

"Terserah kamu aja," sahutku. Tersenyum.

Langit yang biru gelap menampakkan taburan bintang. Angin mulai berhembus menembus tulang. Rita memeluk lengannya erat, berusaha menghalau dingin yang menggigit kulitnya. Rambutnya yang digerai terkibar ditiup angin.

"Kita pulang aja, yuk?" Ajakku. Ia mengangguk. Kami bergegas menuju parkiran mobil.

Kusuruh Rita menuju mobil terlebih dahulu, aku sendiri ke kasir untuk membayar makanan tadi. Aku menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada petugas kasirnya. Sejenak aku merasa ada yang memperhatikanku. Dugaanku benar, pelayan yang tadi mengantarkan makanan ke mejaku sedang memperhatikanku, kemudian berbisik pada rekannya. Tatapannya aneh. Petugas kasirpun menatapku dengan tatapan yang sama dengan pelayan itu saat memberiku uang kembalian. Setelah kuterima uang kembalian, aku bergegas menyusul Rita dan mengabaikan tatapan mereka.
***

Aku Arya. Mahasiswa Filsafat di sebuah perguruan tinggi di ibu kota. Sebelumnya aku bukan orang yang percaya pada cinta. Bagiku, cinta adalah ilusi. Entah mengapa aku begitu membatasi diri pada hal-hal yang bersifat romantisme macam itu. Aku pikir, cinta hanya membuatmu membuang-buang waktu. Tidak penting. Aku juga merasa baik-baik saja meskipun tanpa cinta.

Suatu ketika aku memang pernah menyukai seorang gadis di kampusku, tapi aku tidak mendefinisikannya sebagai bentuk cinta. Dia cantik, menarik, dan aku suka melihatnya. Jadi, itu cinta atau nafsu? Aku pilih opsi yang kedua.

Kehidupanku berjalan normal layaknya manusia biasa. Rutinitas kuliahku juga lancar. Pun dengan acara nongkrong-nongkrong bersama teman-teman. Hampir semua temanku memiliki kekasih. Dari sekian banyak yang kutanyai perihal perasaan mereka, mereka menjawab persis seperti yang aku duga. Hanya untuk ajang pamer, pelampiasan nafsu, dan gengsi. Opsi terakhir cukup masuk akal bagiku. Kebanyakan laki-laki punya gengsi cukup besar ketika teman lainnya sudah punya gandengan. Aku sendiri mengakuinya, meskipun aku belum punya seseorang yang dapat kupamerkan pada mereka. Sekali lagi, hanya gengsi, bukan cinta.

"Ar, lo nggak berniat cari pacar? Lo kan ganteng, pinter, tajir. Cewek-cewek juga banyak yang naksir sama elo. Kalo gue jadi elo sih, udah gue pacarin semua tuh!" Ujar Rio, salah seorang teman kampus yang juga teman kosku. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.

"Iya, Ar. Kapan lo punya pacar?" Alfi menimpali.

"Gue nggak percaya cinta," sahutku.

"Siapa bilang pacaran harus pake cinta? Lo liat gue? Gue baru putus minggu lalu sama si Rika, sekarang gue udah jadian sama Debby," sanggah Rio.

"Itu beda, Men! Itu sih elo-nya yang playboy," kataku gusar. Aku tidak ingin disamakan dengan Rio yang pada dasarnya memang sering berganti pasangan. Aku sendiri tahu apa yang sudah dia lakukan dengan pacar-pacarnya itu.

"Gue tantang lo! Dalam seminggu ini lo harus udah dapet pacar dan kenalin ke kita," tantang Rio.

"Hah? Apa-apaan lo?"

"Oke, dua minggu. Gue tau lo nggak jago dalam pedekate ke cewek. Gue kasih waktu tambahan buat lo. Kalo lo bingung mau cari cewek yang mana, gue punya pilihan," tuturnya. Aku hanya melongo mendengarnya. "Pertama, Rita, ketua himpunan jurusan. Ini cewek suka udah lama sama lo sejak kita ospek. Kedua, Hani, wakil ketua bem universitas. Doi juga sama. Malahan dia lebih agresif dibanding Rita. Ketiga, Clara, ketua bem universitas. Dia ngaku sama gue kalo dia emang suka sama lo. Tinggal pilih, Ar."

"Nah, tunggu apa lagi, Ar? Gebet aja semua! Manfaatin popularitas lo!" Ujar Alfi mengompori.

Aku tercenung sejenak. Apa ini yang dibutuhkan laki-laki? Pacar? Wanita? Meskipun tanpa cinta? Ah, peduli apa dengan cinta. Toh, mereka semua pun tidak ada yang benar-benar mencintai kekasih mereka. Kuacungi jempolku tanda menyanggupi tantangan mereka. Satu hal yang harus kalian pahami, aku menyanggupi ini bukan karena aku ingin mencari pacar. Aku hanya gengsi. Ingat, gengsi!
***

Hari pertama dalam aksi pencarian wanita tidak terlalu kupikirkan. Ini masih jauh dari deadline dua minggu yang diberikan oleh Rio. Aku sendiri tidak pernah sadar bahwa memang banyak wanita yang menyukaiku, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Seperti yang kudapatkan pagi ini di loker pribadiku, sebuah surat beramplop biru yang tak ada nama pengirimnya.

"Selamat pagi, Arya," sapa seorang wanita saat aku masih terbengong-bengong membaca isi surat tadi. Hani. Salah satu wanita yang masuk kategori pilihan untukku dari Rio.

"Oh, hai Hani. Baru dateng?" Tanyaku basa-basi.

"Iya, nih. Lagi baca apa, sih? Kok serius banget?" Tanyanya lagi, melihat ke arah surat yang sedang kubaca tadi. Aku melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop.

"Ah, enggak. Cuma kertas nggak penting." Hani hanya mengangguk tanpa memperpanjang rasa ingin tahunya. "Han, nanti mau makan siang bareng?" Sekalian saja, pikirku.

Alih-alih menolak, Hani dengan antusias menyatakan persetujuannya. "Oke, aku tunggu di kantin, ya. Sampai nanti, Arya." Ia berlalu dengan wajah sumringah. Aku yakin ia begitu senang mendapat tawaran makan siang bersamaku. Ah, apa semua makhluk bernama wanita seperti itu? Mudah sekali mendapatkannya.

Aku bergegas ke kelas dan membaca ulang isi amplop biru yang tadi baru kubaca setengahnya.

Ilustration by google.com

Dunia menantimu dalam rengkuhan waktu. Aku yang menanti, hingga laju darah membeku. Aku yang melihat, mengamati seperti pemburu terhadap mangsanya. Aku peri kecil yang siap mati kapanpun. Mati... Caraku agar kau mau merengkuhku dalam pelukan.

NN.

Aku membacanya berkali-kali, namun tak juga kutemukan apa maksud si pengirim surat itu. Apa katanya? Mati adalah caranya agar aku bisa merengkuhnya dalam pelukan?

"Bodoh sekali orang ini? Manusia mana yang mau mati hanya karena ingin dipeluk?" gumamku.

Kumasukkan surat itu kembali ke dalam amplopnya dan kujejalkan secara asal ke dalam ranselku. Aku tidak punya waktu memikirkan hal seperti itu. Tidak penting dan membuang-buang waktu.
***

Aku memandang wajahku lekat-lekat di depan cermin setelah mencuci muka. Kantung mataku membentuk serupa lingkaran hitam milik mata panda. Semalaman aku tidak bisa tidur. Entah, aku memikirkan pesan singkat dalam kertas di lokerku kemarin pagi. Pesan aneh yang membuatku tidak mengerti.

Rio dan Alfi sudah berangkat terlebih dahulu. Aku sengaja menyuruh mereka untuk tidak menungguku pagi ini. Kepalaku terasa berat, sehingga aku memutuskan untuk mencoba tidur sejenak setelah mereka pergi ke kampus. Lagipula aku tidak ada kuliah pagi ini, hanya ada setelah jam makan siang.

Terbangun pukul 10 pagi dengan sekujur tubuh penuh keringat dan nafas yang terengah-engah membuatku haus. Sial, aku mimpi buruk! Aku mencari amplop biru itu di tasku dan membaca ulang isinya. Demi Tuhan, aku tidak mengerti maksudnya.

"Peri kecil? Siapa yang dimaksud dengan peri kecil, hah?" Seruku sebal. "Omong kosong macam apa ini?"

Kutinggalkan amplop beserta isinya di atas meja. Aku bergegas ke kampus sekaligus makan siang. Ketika aku menuju loker, aku menemukan amplop yang sama seperti yang kemarin. Kali ini isinya lebih mengejutkan.

To be continued...

Free for comment :D

Post a Comment

4 Comments

  1. Peri kecil itu sebutan spesial punyaku, loh. Hahaha

    ReplyDelete
  2. "Ah, apa semua makhluk bernama wanita seperti itu? Mudah sekali mendapatkannya." aku suka kalimat itu. ngena men haha

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?