The 13th of April


Aku Belajar Darinya

Aku belajar memahami arti kehidupan darinya. Dari seorang anak kecil bertubuh tambun yang bersuara lantang.

Sore itu hujan turun deras. Menyapu sebagian besar kota Jakarta yang padat. Setiap orang di sini hanya bisa mengeluh. Ketika terik matahari membakar kulit mereka, mereka saling mengumpat, menginginkan keteduhan. Ketika hujan menyapa, mereka masih juga mengumpat, agar hujan reda.

Seperti yang aku tahu, sangat jarang orang Jakarta yang suka hujan. Mereka benci hujan, karena ketika hujan yang dianggap sebagian orang membawa berkah, maka hujan adalah musibah bagi mereka. Banjir. Ya, apalagi alasan mereka membenci hujan jika bukan karena hal itu?




Berbeda dengan diriku. Aku amat mencintai hujan. Merasakan tetesan air itu di tanganku adalah keteduhan. Ketenangan yang mampu menyapa jiwa yang kalut. Semua amarah lebur bersama jatuhnya air hujan. Aku sangat mencintai hujan. Karena bagiku, hujan adalah kehidupan. Kehidupan untuk para kaki-kaki kecil yang membawa payung mereka pada orang-orang yang membutuhkan. Kehidupan untuk mengistirahatkan sejenak pikiran dan bersantai di rumah dengan keluarga.




Tetesan air hujan masih mengembun di luar jendela. Supir dari bus yang kutumpangi beberapa kali menginjak rem, kesal. Kendaraan yang memadat membuatnya tak bisa melajukan mobilnya dengan lancar. Ah, bukankah Jakarta selalu begini setiap hari? Bukankah ini rutinitas yang tidak mengherankan lagi? Lagipula, bukankah seharusnya supir bus itu senang dengan keadaan ini? Karena orang-orang akan lebih cepat pulang kantor dan menaiki busnya. Itu artinya uang yang di dapatkan akan lebih banyak. Bukankah begitu pikiran yang semestinya?

Aku duduk persis di sebelah jendela. Kini, bus ini sarat penumpang. Rela berdesak-desakan demi terhindar dari hujan di luar. Aku bergeming. Menatap mobil-mobil di luar yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Hanya riuh suara klakson bersahutan, menenggelamkan suara lantang milik bocah kecil yang asik bersenandung dengan gitar kecilnya.

Aku menatapnya kamat-lamat. Anak lelaki berusia sekitar 10 tahun yang mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek berkantong besar itu kini ada di tengah-tengah bus. Bersenandung satu lagu yang tidak aku ketahui, tapi familiar di telingaku. Liriknya mengisahkan tentang orang yang bersedekah tidak akan membuatnya jatuh miskin, juga tentang sebuah kemewahan harta yang tak mungkin dibawa mati oleh si empunya.

Suara itu masih lantang terdengar meski tidak semerdu penyanyi aslinya. Tapi aku mengerti, dengan lagu itu ia ingin sekaligus menyadarkan orang-orang di dalam bus untuk mengerti tentang kehidupan. Aku yakin, hampir semua orang mengerti lirik lagu yang sederhana itu. Karena tak ada kata kiasan yang terkandung di dalamnya. Semua serba nyata, ada dalam kehidupan.

Sebagian orang tertidur di kursinya. Aku mendengar ia melanjutkan lagu berikutnya. Lagu yang sama sekali tidak kuketahui lagi. Tapi kini, dalam liriknya ada kata-kata yang menyindir orang yang pura-pura tidur hanya untuk menghindari pengamen seperti dirinya. Ah, miris. Apa orang-orang itu harus disindir dulu baru terketuk pintu hatinya?

Tiga lagunya selesai saat bus ini hampir sampai tujuan. Jujur, aku mengabaikan lagu terakhirnya. Bukan tidak suka, tapi aku lebih suka menyaksikan hujan. Hujan yang kali ini membuatku mengerti arti kehidupan dari seorang anak kecil yang harus menapaki jalannya sendiri.


Aku yang sebesar ini masih sering menyusahkan orangtua. Dia, anak sekecil itu sudah bisa mencari uang sendiri. Meski harus berpeluh, bermandikan debu dan asap knalpot yang buruk, ia tetap menjalani hidupnya. Tanpa mengeluh. Aku yakin ia anak yang kuat. Darinya, aku belajar memahami bahwa kehidupan tidak seindah dalam cerita dongeng. Kehidupan selalu berwarna, meski warna yang terbentuk adalah abu-abu atau hitam sekalipun. Gelap. Ya, gelap. Tapi suatu saat aka nada titik terang. Fase dimana usaha dan kerja kerasnya menjadi buah manis untuk dipetik. Suatu saat nanti. Ini hanya tentang waktu dan keajaiban Tuhan.

Cileungsi, 13 April 2013.

Post a Comment

0 Comments